Serenity291185's Blog

Just another WordPress.com weblog

Tugas Makalah

Perkembangan Peradilan Dari Zaman Kolonial Sampai Kemerdekaan

 

Serenity Deliver Refisis

 

Fakultas Hukum

Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.      Latar Belakang

Peradilan adalah salah suatu urusan di dalam rumah tangga negara yang teramat penting. Bagaimanapun baiknya segala peraturan hukum yang diciptakan di dalam suatu negara, guna menjamin keselamatan masyarakat serta menuju kepada tercapainya kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan itu tak akan memberikan faedah, apabila tak ada suatu tahapan (instansi) yang harus memberikan isi dan kekuatan kepada kaidah-kaidah hukum yang diletakkan di dalam undang-undang dan peraturan hukum yang lain.[1]

Termasuk jikalau tidak ada pihak yang dengan keputusannya atas dasar undang-undang dapat memaksa orang mentaati segala peraturan negara, dan menjadi forum, dimana segala penduduk dapat mencari keadilan, serta penyelesaian persoalan-persoalan tentang hak dan kewajibannya masing-masing menurut hukum. Oleh karena itu, maka adanya peradilan yang baik dan teratur serta mencukupi kebutuhan, adalah suatu keharusan di dalam susunan negara hukum.[2]

Dimana ada hukum disitulah ada hakim, dan hakim atau pengadilan itu mempunyai peranan yang teramat penting di dalam masyarakat, sebab pengadilan itu bukan saja untuk menyelesaikan perselisihan-perselisihan dan/atau menghukum yang melanggar peraturan negara, melainkan juga menjadi tempat perlindungan seharusnya terhadap perkosaan hak-hak dasar/asasi dan kebebasan-kebebasan dasar, yang diletakkan di dalam Undang-Undang Dasar, bagi setiap warga negara.[3]

B.      Pengertian Peradilan

Menurut Mr. S.J. Foeckema Andreae, peradilan adalah organisasi yang diciptakan oleh negara untuk memeriksa dan menyelesaikan sengketa hukum; juga fungsinya disebut peradilan. Sedangkan Dr. W.L.G. Lemaire mengartikan peradilan, sebagai suatu pelaksanaan hukum.[4] Demikian halnya dengan pendapat dari Mr. J. Van Kan, bahwa peradilan adalah pekerjaan dari pada hakim atau badan pengadilan. Hakim dan pengadilan itu menurut beliau adalah badan yang oleh penguasa dengan tegas dibebani tugas untuk memeriksa pengaduan tentang gangguan hak (hukum) atau memeriksa gugatan dan badan itu memberi putusan hukum.

Dengan perkataan lain, peradilan adalah segala sesuatu yang bertalian dengan tugas hakim dalam memutus perkara, baik perkara perdata maupun perkara pidana, untuk mempertahankan atau menjamin ditaatinya hukum materiil. Akan tetapi, batasan tersebut oleh Sudikno Mertokusumo, dianggap belum juga sungguh-sungguh memuaskan dan mencakup segala-galanya.[5]

 

BAB II

PERMASALAHAN

 

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut, maka permasalahan yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah:

Bagaimana perkembangan peradilan dari zaman kolonial sampai kemerdekaan?

 

 

BAB III

PERKEMBANGAN PERADILAN

DARI ZAMAN KOLONIAL SAMPAI KEMERDEKAAN

 

A.      Zaman Kolonial Belanda

 

Pada zaman pemerintahan Hindia-Belanda (tahun 1600-an sampai tahun 1942), Indonesia dibagi menjadi 2 (dua) daerah, yaitu:[6]

1.  Daerah langsung, yang diperintah oleh Belanda. Daerahnya lebih sempit dibandingkan dengan daerah yang tidak langsung, yang diperintah oleh raja-raja. Pada daerah langsung terdapat peradilan, sebagai berikut :

a. Landraad;

b. Raad van Justitie;

c. Hooggerechtshof.

2.    Daerah tidak langsung.

       Pada daerah tidak langsung terdapat peradilan, sebagai berikut :

a. Peradilan gubernemen;

b. Peradilan swapraja (oleh Raja).

 

Berdasarkan instruksi yang dibuat untuk Gubernur-Jenderal dengan Dewan Hindia yang pertama tanggal 29 Nopember 1609, diperintahkan supaya Badan Pemerintah Tertinggi (Staten Generaal) di Hindia, menjadi hakim di dalam perkara pidana maupun perdata. Ketentuan di dalam akta pendirian (octrooi) tersebut (Pasal 35) yang memberikan kekuasaan untuk mengangkat hakim-hakim, merupakan dasar kekuasaan hukum dari pengadilan yang kemudian didirikan oleh Kompeni di daerahnya.[7]

Berdasarkan resolusi tanggal 24 Juni 1620, dibentuk suatu majelis pengadilan dibawah pimpinan Baljuw, yang dinamakan “College van Schepenen”. Selain urusan pengadilan, College van Schepenen juga diserahi urusan  pemerintahan dan kepolisian di dalam kota. Sebagai badan pengadilan, majelis itu disebut “Schepenbank”,[8] yang mula-mula hanya mengadili perkara-perkara sipil saja, akan tetapi tidak lama kemudian ditugaskan juga buat mengadili perkara-perkara kriminil.

Pegawai-pegawai kumpeni dan serdadu-serdadu kumpeni diadili oleh suatu badan pengadilan yang mula-mula disebut “Ordinaris luyden van den gerechte in het Casteel”, kemudian tahun 1626 diubah namanya menjadi “Ordinaris Raad van Justitie binnen het Casteel Batavia”. Raad van Justitie ini merupakan :

a.        badan pengadilan dalam tingkat pertama dan terakhir untuk pegawai-pegawai kumpeni dan serdadu-serdadu kumpeni.

b.       badan pengadilan appel buat penduduk kota yang minta bandingan atas keputusan-keputusan dari Schepenbank.

Pada Raad van Justitie, dipekerjakan seorang advokat-fiskal, yang dalam perkara pidana menjadi penuntut umum, akan tetapi di dalam perkara sipil bertindak seperti anggota biasa. Pada tahun 1651, College van Schepenen menambahkan seorang Landdrost, yang bertindak sebagai penuntut umum dalam perkara pidana untuk daerah sekitar Kota Jakarta, akan tetapi perkaranya harus diajukan kepada Schepenbank di Kota Jakarta.

Susunan pengadilan dari kumpeni itu didasarkan atas rukun persamaan (concordantie-beginsel) dan berpangkal kepada hukum Belanda. Pengadilan-pengadilan tersebut mengadili perkara-perkara yang diajukan kepadanya menurut ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam plakat-plakat dan undang-undang dari Pemerintah Kumpeni di Indonesia.[9]

 

B.      Masa Daendels

Perubahan yang dilakukan dalam pengadilan antara lain: di Kota Jakarta, Raad van Justitie  diubah menjadi Hooge Raad, sedangkan di daerah sekitar Kota Jakarta kekuasaan hukum diserahkan kepada Drossaard yang akan melakukan pengadilan dalam tingkat pertama, dalam perkara pidana serta sipil. Di daerah Priangan diadakan Landgericht berkeliling,[10] sedangkan di Banten, peradilan sama, yang dibiarkan hanya pengadilan penghulu mengenai perkara-perkara kekeluargaan, yang diputuskan menurut hukum Islam.

 Dalam tahun 1808, Daendels menghapuskan tata pengadilan di Cirebon, yang selama itu berdasar kepada Pepakem Cirebon. Daerah Cirebon dijadikan prefectuur (Landdrostambt) dan di ibukota Cirebon didirikan suatu Landraad. Perkara kecil-kecil, seperti utang-piutang, kejahatan-kejahatan enteng dan sebagainya diadili di kabupaten-kabupaten, dengan kemungkinan meminta banding pada Landraad.[11]

Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimulai dualisme dalam pengadilan, yakni di Surabaya didirikan Raad van Justitie untuk bangsa Eropa, dan Landraad untuk Bumiputera. Adapun kekuasaan Raad van Justitie, ialah mengadili kejahatan-kejahatan yang melanggar ketentraman, dan memeriksa perkara-perkara yang dilakukan oleh orang-orang Jawa bersama-sama dengan orang Eropa, Tionghoa, Melayu, dan lain-lain, yang tidak lahir di Jawa.

Sedangkan kekuasaan Landraad, ialah untuk mengadili perkara-perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang Jawa terhadap orang Jawa lain, seperti perampokan rumah-rumah ibadat, pengkhianatan, merusak kuburan, dan pembunuhan. Di tiap-tiap prefectuur atau daerah jabatan Landdrost, didirikan suatu Landgericht, yang memutus segala perkara sipil serta pidana yang tidak masuk kompetensi Landraad. Kemudian di tiap-tiap kabupaten di seluruh Jawa Tengah dan Jawa Timur diadakan suatu Vredesgericht yang mengadili perkara yang kecil-kecil, yaitu perselisihan di dalam perkara perkawinan, penganiayaan, utang-piutang, dan sebagainya.[12]

 

C.      Masa Raffles (Pemerintahan Peralihan Inggris)

Dikeluarkannya Maklumat tanggal 27 Januari 1812, yang menyatakan susunan pengadilan untuk bangsa Eropa berlaku juga untuk bangsa Indonesia yang tinggal di dalam lingkungan kekuasaan kehakiman kota-kota, termasuk juga daerah sekitarnya, kota-kota itu yakni kota Batavia, Semarang dan Surabaya.

 Di kota-kota Batavia, Semarang dan Surabaya, di mana dahulu ada Raad van Justitie, didirikan Court of Justice, yang mengadili baik perkara sipil, maupun kriminil. Court of Justice yang ada di Batavia merupakan juga Supreme Court of Justice, pengadilan appel terhadap putusan-putusan Court of Justice yang ada di Semarang dan Surabaya.

Disamping itu Supreme Court of Justice mengadili sebagian dari perkara-perkara yang dahulu termasuk kekuasaan Schepenbank.[13] Untuk meringankan pekerjaan Court of Justice itu di ketiga kota didirikan:[14]

1.       Badan-badan pengadilan untuk mengadili perkara-perkara sipil yang kecil-kecil, semacam “Court of request for small debts” di Inggris.

2.       Pengadilan-pengadilan yang dilakukan oleh “Magistrate” untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran yang kecil-kecil. Di Semarang dan Surabaya hanya ada seorang “Magistrate” sedangkan di kota Batavia ada 4 orang “Magistrate”, yang kemudian menjadi lima. Pengadilan “Magistrate” diserahi kekuasaan “politionele jurisdictie dari Schepenen yang mempunyai tugas kepolisian dan melakukan pula pengadilan kepolisian.

Dalam perkara pidana, Court of Justice dilengkapi “Jury”, yang terdiri dari 12 orang bangsa Eropa yang disumpah. Kewajiban badan ini ialah menimbang kejadian-kejadian dan mengucapkan apakah terdakwa salah atau tidak salah, akan tetapi yang menjatuhkan hukuman tetap hakim.

Pengadilan yang dibentuk di daerah-daerah pedalaman adalah pengadilan buat perkara-perkara sipil, yakni di tiap-tiap daerah kekuasaan Landdrost diadakan “Landdrost Courts” yang hanya memeriksa perkara-perkara sipil melulu untuk bangsa Indonesia. Sedangkan pengadilan yang lain adalah pengadilan buat perkara pidana, yang dilaksanakan oleh “Landdrost” sebagai “Magistrate” dalam perkara pelanggaran kecil, dan “Courts of Circuit”.[15]

Berdasarkan Peraturan 1814 tentang tata pengadilan yang lebih utama bagi badan-badan pengadilan di daerah-daerah di Jawa, maka susunan baru pengadilan yang diadakan adalah:[16]

a.        Division Court

b.       District’s Court atau Bupati’s Court

c.        Resident’s Court

d.       Court of Circuit

 

D.      Masa Kembalinya Pemerintahan Belanda

Berdasarkan Stb. 1819 No. 20, ditentukan tentang akan dibuatnya reglement yang mengatur acara pidana dan perdata untuk seluruh Jawa dan Madura, kecuali Jakarta, Semarang dan Surabaya serta daerah sekitarnya. Bagi Jakarta, Semarang dan Surabaya serta daerah sekitarnya untuk perkara pidana dan sipil tetap menjadi kekuasaan Raad van Justitie. Dengan demikian ada perbedaan dalam susunan Pengadilan buat bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di kota-kota dan sekitarnya, dan Bangsa Indonesia yang bertempat tinggal di desa-desa (pedalaman).[17]

Susunan Pengadilan untuk bangsa Eropa adalah sebagai berikut:[18]

1.       Hooggerechtshof di Jakarta dan Raad van Justitie masing-masing di Jakarta, Semarang dan Surabaya.

2.       Pengadilan Hooggerechtshof merupakan pengadilan tertinggi dan berkedudukan di Jakarta dengan daerah hukum yang meliputi seluruh Indonesia yang memiliki kewenangan sebagai berikut :

a.      Mengawasi jalannya peradilan dengan baik

b.     Bertindak sebagai “hof van Cassatie

c.      Bertindak sebagai pengadilan appel terhadap keputusan-keputusan Raad van Justitie.

Susunan pengadilan untuk bangsa Indonesia di daerah-daerah pedalaman adalah sebagai berikut:[19]

1.       Districtsgerecht, yaitu gantinya Division’s Court zaman Raffles

2.       Regentschapsraad, yaitu gantinya District’s Court atau Bupati’s Court zaman Raffles

3.       Landraad, yaitu gantinya Resident’s Court zaman Raffles

4.       Ommegaande rechtbanken, yaitu gantinya Court’s of Circuit zaman Raffles.

Pada tahun 1847, dualisme tata peradilan, semakin dimantapkan dengan sebuah Koninklijk Besluit bertanggal 16 Mei 1847 yang termuat dalam  Stb. 1847 No. 23 yang dikenal dengan nama Reglement op de Rechterlijke Organisatie en Het Beleid Der Justitie, dan sering diringkas Reglement op de Rechterlijke Organisatie (selanjutnya di singkat RO).

RO yang diberlakukan tanggal 1 Mei 1848 menetapkan sejumlah lembaga peradilan untuk mengadili perkara-perkara hukum yang terjadi diantara orang-orang Eropa atau yang dipersamakan dengannya, dan sejumlah lembaga peradilan lagi untuk mengadili perkara-perkara hukum yang terjadi di antara orang-orang Bumiputera (atau yang dipersamakan dengannya). RO ini mendasari sahnya badan-badan peradilan  yaitu:[20]

1.       Districtsgerecht

2.       Regentschapsgerecht

3.       Landraad

4.       Rechtbank van Omgang

5.       Raad van Justitie

6.       Hooggerechtshof.

Badan-badan peradilan di atas menurut yuridiksinya hanya akan berkompeten mengadili orang-orang dari golongan rakyat pribumi, sedangkan untuk badan-badan yang menurut yurisdiksinya hanya akan berkompeten  memeriksa dan memutus perkaraperkara untuk golongan penduduk Eropa adalah:[21]

1.       Residentiegerecht

2.       Raad van Justitie

3.       Hooggerechtshof.

Ada tiga pengadilan pemerintah untuk orang Indonesia: pengadilan distrik (kewedanaan) untuk perkara ringan; pengadilan kabupaten untuk perkara-perkara yang lebih besar; dan akhirnya Landraad di setiap ibukota kabupaten. Ke Landraad-lah semua perkara pidana dan perdata yang penting-penting di antara orang Indonesia dan orang-orang yang dimasukkan ke dalam status Indonesia diajukan. Pada akhirnya semua ketua Landraad adalah ahli hukum yang berpendidikan, tetapi sampai tahun 1920-an mereka semuanya juga orang Belanda, suatu unsur yang sebenarnya mencerminkan pemerintahan langsung.[22]

Raad van Justitie juga bertindak sebagai Pengadilan pada tingkat banding sedangkan Hooggerechtshof, bertindak sebagai Pengadilan pada tingkat kasasi untuk perkara-perkara orang pribumi yang diadili oleh Landraad. Selain badan-badan peradilan pemerintah kolonial, masih terdapat peradilan lain seperti Pengadilan swapraja yang ada dan dikelola oleh raja-raja, sultan-sultan, dan/atau pangeran-pangeran. Untuk daerah-daerah lain yang tidak diperintah langsung oleh pemerintah Hindia Belanda, juga didapati beragam bentuk badan penyelesaian sengketa lain seperti yang lazim disebut Pengadilan Desa (Desa Rechtspraak).

Badan-badan peradilan untuk pribumi ini, didominasi dan tidak dapat dipisahkan dari  pejabat-pejabat eksekutif.  Sedangkan badan-badan Pengadilan  untuk orang-orang Eropa yang dinamakan Raad van Justitie dan Hooggerechtshof berada di bawah penanganan hakim-hakim yang berkeahlian hukum secara profesional. Hanya residentiegerecht yang beroperasi dibawah penanganan  Residen, seorang administrator dalam tatanan eksekutif yang bertugas di bawah jenjang Gubernur. Hal ini dikarenakan langkanya ahli-ahli hukum yang didatangkan dari Belanda.[23]

Sampai diundangkannya RO pada tahun 1847 peradilan-peradilan untuk golongan pribumi itu tetap lebih merupakan bagian dari fungsi pemerintahan eksekutif bestuur dan kepangrehprajan daripada merupakan bagian dari fungsi yudikatif. Dengan demikian masih tetap berlaku dualisme dalam bidang tata peradilan kolonial. Bagi golongan pribumi yang bertindak sebagai hakim-hakimnya adalah pejabat-pejabat pemerintahan yang menerapkan kaidah-kaidah hukum tak tertulis sehingga keputusan hukumnya kurang positif eksplisit dan kurang berkepastian.

Meskipun susunan peradilan yang diatur oleh RO 1847 ini kemudian diubah berkali-kali, namun pluralitas badan-badan peradilan di Hindia Belanda ini tetap saja bertahan. Upaya unifikasi badan-badan peradilan ini banyak dipengaruhi oleh ide Von Savigni, yang menyatakan bahwa “setiap bangsa hendaklah berada di bawah hukumnya sendiri”. Upaya-upaya untuk melakukan unificatiedrang ini sesungguhnya lebih banyak tertuju pada pembenahan peradilan-peradilan untuk orang-orang pribumi.[24]

E.      Zaman Pendudukan Jepang (1942-1945)

Setelah pulau Jawa dikuasai oleh Jepang maka dikeluarkanlah peraturan Balatentara Jepang tanggal 8 Maret 1942 No. 1, dalam mana ditentukan bahwa buat sementara segala undang-undang dan peraturan-peraturan dari Pemerintah Hindia Belanda dahulu terus berlaku, asal tidak bertentangan dengan peraturan-peraturan Balatentara Jepang.

 

Pada waktu Balatentara Jepang datang di Indonesia, maka pengadilan-pengadilan Hindia Belanda ditutup. Perkara-perkara diselesaikan oleh Pangreh Praja. Keadaan semacam itu berlangsung sampai bulan Mei 1942. Sejak Pemerintah Pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya di Indonesia peradilan dilakukan oleh Gunpokaigi, Gunritukaigi (Mahkamah Militer), Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) yang mengadili perkara-perkara perdata dan pidana dari penduduk sipil bangsa Jepang dan orang-orang militer yang tidak diadili oleh pengadilan Gunpokaigi dan Gunritukaigi, Peradilan Agama, Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat.[25]

Berdasarkan Undang-Undang 1942 No.14, ditetapkanPeraturan Pengadilan Pemerintah Balatentara Dai-Nippon”. Dengan peraturan ini didirikan pengadilan-pengadilan sipil, yang akan mengadili perkara-perkara pidana dan perdata. Disamping pengadilan-pengadilan itu, dibentuk juga Kejaksaan.[26]

 

Pengadilan-pengadilan sipil tersebut, antara lain:[27]

1. Gunsei Hooin (Pengadilan Pemerintah Balatentara) berlaku untuk semua penduduk Hindia Belanda;

2. Semua badan pengadilan dari Pemerintah Hindia Belanda, kecuali Residentiegerecht, yang dihapus berdasarkan Undang-Undang No. 14 tahun 1942 diganti namanya:

a. Landraad menjadi Tihoo Hooin (Pengadilan Negeri);

b. Landgerecht menjadi Keizai Hooin (Hakim Kepolisian);

c. Regentschapsgerecht menjadi Ken Hooin (Pengadilan Kabupaten);

d. Districtsgerecht menjadi Gun Hooin (Pengadilan Kewedanan).

3. Berdasarkan Undang-Undang No. 34 tahun 1942 (Osamu Seirei No. 3), dibentuk: Kootoo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Saikoo Hooin (Pengadilan Agung).

 

Pembedaan antara Peradilan Gubernemen dan Peradilan Bumiputera ditiadakan, demikian pula pembedaan antara hakim untuk pelbagai golongan rakyat. Hakim untuk golongan Eropa dihapuskan, sedang hakim untuk golongan Bumiputera kekuasaannya diperluas, sehingga meliputi semua golongan. Sesuai dengan asas itu maka dihapuskanlah beberapa pengadilan termasuk peradilan tingkat pertama yang dilakukan oleh Raad van Justitie dan Hooggerechtschof. Perkara-perkara pidana lebih mendapat perhatian dari Pemerintah pendudukan Jepang daripada perkara-perkara perdata; segala sesuatunya yang berhubungan dengan perkara perdata diserahkan penyelesaiannya kepada hakim-hakim bangsa Indonesia.[28]

 

F.       Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia 1945

Peradilan yang dilakukan diseluruh Negara Republik Indonesia atas sekalian para warga negara adalah, peradilan “atas nama Negara Republik Indonesia”.  Peradilan tersebut antara lain: peradilan umum yang dibagi dalam daerah Jawa dan Madura, dan daerah luar Jawa dan Madura.

 

Di Jawa dan Madura yang melakukan peradilan umum ialah Pengadilan Kewedanan (Distrik), Pengadilan Kabupaten, Pengadilan Kepolisian, Pengadilan Negeri, dan Pengadilan Tinggi. Di luar Jawa dan Madura, peradilan umum dilakukan oleh Pengadilan Distrik (Districtsraad dan Districtsgrecht), Pengadilan Kepolisian (Magistraats dan Landgerecht), Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, sedangkan untuk seluruh Indonesia ada Mahkamah Agung.[29]

BAB IV

P E N U T U P

 

A.      Kesimpulan

Perkembangan peradilan dari zaman kolonial sampai kemerdekaan, mengalami banyak perubahan, baik di zaman Kolonial Belanda, masa Daendels, masa Raffles (Pemerintahan Peralihan Inggris), masa kembalinya pemerintahan Belanda, zaman pendudukan Jepang, sampai pada zaman kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945. Sistem peradilan Indonesia mengalami perubahan yang revolusioner, yang pada pokoknya menuju kepada penyederhanaan dan peningkatan jalannya sistem peradilan dan penghapusan dualisme serta sifat kolonialisme dari sistem peradilan.

B.      Saran

Untuk lebih meningkatkan peradilan Indonesia, Pemerintah perlu mencurahkan perhatian lebih besar kepada perkembangan hukum terlebih kepada sistem pembangunan hukum nasional. Baik tidaknya, jalannya peradilan tergantung kepada pribadi hakim, organisasi peradilan, hukum acara yang digunakan, juga pada kematangan pembentuk undang-undang dalam membuat undang-undang yang jelas dan sederhana isinya, termasuk sistem pemerintahan yang berlaku, dan yang tidak boleh dilupakan adalah kesadaran hukum warga negara.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arifin, Muhammad. 1978. Peradilan di Indonesia. Jakarta Pusat: Pradnya Paramita

Mertokusumo, Sudikno. —–, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indomesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Disertasi

Nasution, Sanwani. 2008. Catatan Perkuliahan Sejarah Hukum. Medan: SPs USU

Ramasari, Annida. Badan Peradilan Zaman Hindia Belanda dan Jepang. http://annida.harid.web.id/?p=354

Sunarmi. 2008.  Bahan Perkuliahan Sejarah Hukum. Medan: SPs USU

Tresna, R. 1977. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Jakarta Pusat: Pradnya Paramita

 

 


[1] Mr. R. Tresna, Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, (Jakarta Pusat: Pradnya Paramita, 1977), hal. 108

[2] Ibid.

[3] Ibid, hal. 4-5

[4] Sudikno Mertokusumo, Sejarah Peradilan dan Perundang-undangannya di Indomesia Sejak 1942 dan Apakah Kemanfaatannya Bagi Kita Bangsa Indonesia, Disertasi, hal. 3

[5] Ibid, hal. 4

[6] Prof. Sanwani Nasution, SH, MH, Catatan Perkuliahan Sejarah Hukum, (Medan: SPs USU, 2008)

[7] Mr. R. Tresna, Op. cit, hal. 26

[8] Schepenbank merupakan suatu badan pengadilan untuk segala penduduk kota yang merdeka (bukan budak) dari bangsa apapun, kecuali pegawai-pegawai kumpeni dan serdadu-serdadu kompeni. Muhammad Arifin,  Peradilan di Indonesia, (Jakarta Pusat: Pradnya Paramita, 1978), hal. 18-19.

[9] Mr. R. Tresna, Op. cit, hal. 27

[10] Ibid, hal. 40

[11] Ibid, hal. 41

[12] Ibid, hal. 42

[13] Ibid, hal. 44

[14] Ibid, hal. 45

[15] Ibid, hal. 46

[16] Ibid, hal. 47-48

[17] Ibid, hal. 50

[18] Ibid.

[19] Ibid, hal. 51

[20] Ibid, hal. 58

[21] Ibid, hal. 59

[22] Dr. Sunarmi, SH, M.Hum, Bahan Perkuliahan Sejarah Hukum, (Medan: SPs USU, 2008)

[23] Ibid.

[24] Ibid.

[26] Muhammad Arifin, Loc.cit

[27]Annida Ramasari, Badan Peradilan Zaman Hindia Belanda dan Jepang. http://annida.harid.web.id/?p=354

[28] Sudikno Mertokusumo, Op.cit, hal. 16-17

[29] Ibid, hal. 33

3 Februari 2009 Posted by | Uncategorized | 2 Komentar